Dua
DI
ruangan, Subagya sedang membaca serius lembaran kertas yang tersimpan dalam map
besar di atas meja. Sesekali ia mengangguk-angguk, merapikan rambut keritingnya
dengan menggunakan sebelah tangan, kemudian tersenyum lebar. Ketika seorang
perempuan cantik lewat di depan ruangannya, Subagya langsung memanggil. “Hei,
Selfi!” Subagya memanggil sambil mengangkat sebelah tangan.
Selfi terkejut. Tergopoh-gopoh,
gadis itu menuju ke ruangan Subagya. Sebelum membuka pintu ruangan, Selfi
mencuri-curi kesempatan untuk merapikan roknya yang setinggi lutut. “Saya,
Bos.” Selfi menjulurkan kepala di sela pintu yang terbuka.
Subagya sengaja tak menyadari
kedatangan Selfi. “Bukan, bukan, kamu.” Sang bos melambaikan tangan sebagai
tanda tak ingin melihat Selfi. Gadis itu merasa tersurut. Ia langsung menghiasi wajah
cantiknya dengan cemberut, bercampur malu. Ketika Selfi hendak kembali ke tempatnya,
Subagya malah mecegat. “Heh, panggil Nilam ke sini.”
Nilam duduk di kursi kerjanya di
ruangan yang lebih besar. Selfi tinggal melirik saja kepada gadis itu untuk
memberitahu panggilan dari Subagya. Nilam bergegas ke ruangan sang bos. Ia bisa
mendengar laki-laki itu menyebut namanya. Kalau Subagya berbicara, suaranya
pasti terdengar oleh seisi kantor.
“Saya, Bos.” Nilam sudah berdiri di
hadapan Subagya. Belum sempat duduk, laki-laki tambun itu justru berdiri menyambut di depan pintu. Ia pun memberikan sebuah
kursi.
“Tangkapan besar. Kamu hebat!”
Subagya menunjukkan dua jempol ke arah Nilam.
Nilam tak terlalu suka dengan jempol
itu. Ia mengharapkan hal lain dari sang bos. “Ehem.” Ia pura-pura mendehem.
“Jadi, saya dapat full kan, Bos?”
Nilam memasang raut penuh harap.
Subagya membalas dengan senyum.
Senyum yang setengah dipaksakan. Hanya seperempat kadar keikhlasan di bibir
laki-laki itu. “Soal fee, kamu
tahulah kondisi ekonomi negara saat ini. Melambat, carut-marut di mana-mana.
Kamu, berkorbanlah untuk perusahaan ini.”
Nilam membelalakkan mata.
“Maksudnya, saya tak dapat fee ya,
Bos?”
Subagya tergagap. “Ndak begitu.”
Laki-laki itu berusaha meralat kembali ucapannya. “Ya, ada, ada lah.” Ia
mencoba meyakinkan Nilam. “Tapi, setengah saja ya.” Subagya menjentikkan ujung
jarinya.
Nilam pura-pura berpikir. Ia seolah
menghitung-hitung. “Limabelas persen?”
Subagya membalas dengan senyum
gamang. “Setengahnya.”
Nilam mencoba menghitung lagi. Kali
ini tak sembarangan. Ia tak ingin melakukan kesalahan sedikit pun. Ketika gadis
itu sedang menerawang ke awang-awang,
smartphone yang tersimpan dalam jas
yang dipakainya tiba-tiba berbunyi. Nilam terkejut. Ia menatap kecut ke arah Subagya. Sang bos
malah tersenyum. Ia memberi aba-aba agar Nilam mengangkat
telpon
genggamnya. Nilam mengambil telpon pintar itu dari saku jas
yang dikenakannya. Kemudian menggeser posisi kursi ke arah belakang. Berdiri,
gadis itu mencari tempat yang nyaman di sudut jendela kaca.
“Hallo.”
“Hoi,
Nilam. Ini mandehmu!” Ada suara setengah berteriak dari balik ganggang telpon.
“Iya, iya, Bu. Aku tak pernah lupa
dengan suara Ibu.”
“Syukurlah.” Suara itu tak
menurunkan volumenya.
Nilam menjauhkan mikrofon smartphone dari telinganya. “Pelan-pelan
saja, Bu. Ini kan telpon canggih, suara Ibu dijamin terdengar jernih.”
“Kapan kau pulang?”
“Apa? Pulang? Ya, nanti, Bu. Sehabis
jam kerja. Paling, malam aku sampai.”
“Hah? Nanti malam kau sampai? Cepat
sekali pesawatmu itu terbang.”
Nilam menggaruk-garuk kepala. Sang
ibu sudah salah mendengar perkataannya. “Tidak ada pesawat, Bu. Aku pulang
pakai mobil. Tak bisa cepat. Paling nanti terjebak macet.”
“Macet dimana?”
“Di jalan, Bu.”
“Lewat jalan mana pula kau itu? Tak
ada macet. Mobil saja cuma satu-satu lewat di jalan sini.”
Nilam menghela nafas. Baru mengerti
ia dengan kekeliruan sang ibu. “Aku tak pulang ke kampung, Bu. Belum sekarang.”
Diam di balik ganggang telpon. Suara di baliknya tiba-tiba berubah melemah. Dengan nada sendu,
ditambah dengan suara terisak. “Pulanglah kau.” Suara itu memelas.
“Saya sibuk, Bu. Tak mungkin meninggalkan pekerjaan.”
“Pokoknya, sebelum lebaran haji, kau harus sampai.”
“Tidak bisa, Bu.”
“Onde mande! Tak iba kau
dengan perempuan tua ini. Tak panjang lagi umurku. Menyesal kau nanti kalau tak
sempat menjumpaiku setelah aku mati.”
“Ah, Ibu jangan berlebihan seperti itu. Ibu baik-baik saja. Sehat-bugar.
Tak ada penyakit apa pun.”
“Aku ini sudah tua, Nilam. Kapan saja, Tuhan bisa menjemput ajalku.”
Nilam kebingungan di balik telpon. Ia terus mencari kata-kata untuk
menenangkan hati sang ibu. “Tenang saja. Ibu akan hidup seratus tahun lagi. Dokter yang mengatakan
demikian.”
“Aku tak takut mati. Sudah berlebih nikmat hidup yang aku dapatkan.”
Suara di balik ganggang telpon berhenti sebentar. “Yang membuatku risau, kalau
aku mati, bagaimana nasib warisan di kampung ini. Hanya kau anak perempuanku
satu-satunya.”
Nilam terkejut. Pikirannya melayang ke langit-langit. Baru kali ini
ibunya berbicara tentang harta warisan di kampung. “Warisan apa, Bu?”
“Ladang, kebun, tanah, semuanya. Pulanglah kau, Nilam.”
Nilam langsung bersemangat. “Ya, ya, aku akan pulang, Bu,” Raut wajah gadis itu berubah sumringah. Ia membayangkan ketiban durian
runtuh. Tanah-ladang seluas mata memandang. Ia satu-satunya yang berhak
mendapatkan. “Yes, yes, yes!” Tak
sengaja, Nilam berteriak girang. Ia tak menyadari, dari tadi telah mengabaikan
Subagya di balik meja kerjanya.
“Ehem!” Subagya pura-pura mendehem. Laki-laki itu langsung melihat
dengan tatapan serius kepada Nilam. “Tak ada izin. Pekerjaan menumpuk di kantor. Tunjukkanlah loyalitasmu pada perusahaan ini.”
“Hanya sebentar, Bos.” Nilam memelas. “Sehari, dua hari.” Ia mencoba
menawar.
Subagya pura-pura tak terpengaruh. Ia sudah mempersiapkan akal bulus untuk karyawan terbaiknya itu. “Tujuh hari!”
Subagya tersenyum.
Nilam terkejut di tempatnya berdiri. Tapi, buru-buru gadis itu memasang
raut cemberut kembali ketika mendengar perkataan Subagya
selanjutnya.
“Tujuh hari. Diganti fee kamu ya?” Subagya
tertawa-tawa dalam hati. Ia menikmati kemenangan atas kekalahan karyawan terbaiknya itu.
Komentar
Posting Komentar