Satu



PAGI yang sibuk di pusat perkantoran ibukota. Di sebuah ruangan di lantai tertinggi gedung pencakar langit, pekerjaan sudah dimulai sejak dini. Seorang laki-laki bertubuh tambun dengan rambut keriting tampak gusar. Setiap orang yang hendak melewati laki-laki itu mempercepat langkah. Sebagian menundukkan kepala agar tak melihat tatapan amarahnya.
            “Selfi!” Laki-laki bertubuh tambun berteriak kepada seorang perempuan cantik yang beberapa kali hilir-mudik di depan ruangannya.
            “Iya, Bos.” Selfi membuka pintu yang terbuat dari kaca transparan untuk menerima panggilan.
            “Mana, mana, mana?” Sambil menatap arloji mahal di tangan kanannya berulang kali, laki-laki bertubuh tambun berbicara dengan suara tinggi.
            Selfi tergagap. Tapi, ia sudah tahu persis bagaimana menghadapi kemarahan laki-laki yang dipanggil bos itu. “Sebentar lagi.” Gadis itu melepas senyum yang paling manis. Tapi, tetap tersisa kegamangan di wajahnya.
            “Bawakan aku kopi.” Sang bos memberi aba-aba agar Selfi segera beranjak dari pandangannya. “Dengan espreso.” Laki-laki itu mencegat sebelum Selfi sempat melangkahkan kaki. Ia menambahkan permintaannya.
            Selfi bergegas. Ketika membalikkan tubuh, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sesosok yang masuk ke ruangan. Seorang gadis muda, berjalan dengan anggun. Ia mengenal betul gadis itu. Tapi, caranya berpakaian membuatnya tercengang. Pakaian yang tak biasa.
            Di belakang perempuan cantik, laki-laki bertubuh tambun tak kalah terkejut melihat kedatangan si gadis muda. Ia terpana di atas kursi empuk yang terbuat dari kulit rusa. “Kamu terlambat hari kartinian.” Sang bos menyelutuk dengan nada ketus.
            “Pagi, Bos.” Si gadis muda menyapa tanpa rasa bersalah. “Ternyata, untuk mempersiapkan semua ini membutuhkan waktu yang tak sebentar.”
            Laki-laki tambun mengabaikan alasan si gadis muda. Ia bergegas beranjak dari tempat duduk. Berjalan ke luar ruangan. Ketika berpapasan dengan si gadis muda di pintu, ia menggerutu dalam hati. “Tak ada karnaval-karnavalan!”
            Si gadis muda mengangguk. “Baik, Bos!” Ia mengikuti laki-laki bertubuh tambun yang berjalan ke ruangan sebelah.
            Di ruangan sebelah, seorang laki-laki setengah baya sedang duduk menunggu. Ia mengamati beberapa famflet dan majalah yang berada di atas meja. Laki-laki tambun memperhatikan laki-laki setengah baya itu dengan tatapan meremehkan. Dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Melihat sandal kulit yang dipakainya, laki-laki bertubuh tambun langsung membuang muka. “Kamu yakin dengan klienmu ini?” Sang bos bertanya kepada si gadis muda. Ia tidak mengharapkan jawaban atas pertanyaannya itu.
            Si gadis muda tersenyum sambil menelan ludah. Ia tahu, sang bos sedang meremehkannya. Ia meremehkan dengan memandang sinis laki-laki setengah baya yang duduk menunggu. “Selamat datang Pak Sutarman.” Si gadis muda mendekat dengan penuh keramahan. Ia menyalami laki-laki itu dengan segala sungkan.
            Sutarman tak terkejut dengan keramahtamahan. Ia hanya terkesima dengan cara si gadis muda berpakaian. “Nama saya, Tarman. Panggil saja Sutan.”
            Si gadis muda merasa bersalah. Ia buru-buru mencari pengalihan dengan memperkenalkan laki-laki bertubuh tambun. “Ini, Pak Subagya. Bos saya.”
            Sutarman menyalami Subagya. Subagya tak tertarik beramah-tamah dengan laki-laki itu. Ia langsung duduk di kursi di belakang meja kaca, persis di hadapan Sutarman. Si gadis muda berdiri di sebelah Subagya.
            “Bisa kita mulai, Pak?” Si gadis muda bertanya kepada Sutarman. Tapi, pandangannya diarahkan kepada Subagya. Ia takut sang bos merasa tak diperlakukan secara santun. Si gadis muda lalu mengambil sebuah remote di atas meja. Ia mengarahkan remote itu ke layar putih di sudut ruangan. Seketika, sebuah tayangan menari-nari di atas layar putih itu. Sebuah iklan pakaian dengan model seorang perempuan cantik dan seorang pria gagah. Ada sepasang anak kecil berlari. Keduanya disambut pelukkan seorang perempuan tua. Di sebelahnya, laki-laki tua mengusap-usap kepala si bocah laki-laki. Semua adengan itu berlangsung di teras rumah panggung.
            “Mengharukan...” Tiba-tiba, Sutarman menyeka wajah. Ada bening-bening air jatuh dari kelopak matanya. Laki-laki setengah baya itu sungguh terharu. “Saya jadi teringat kampung halaman.”
            Si gadis muda tersenyum puas. Misinya pagi itu berjalan dengan sempurna. Tapi, Subagya tak terlalu senang kepadanya. Laki-laki itu terus saja memandang Sutarman dengan tatapan sinis. Ia memberi aba-aba kepada si gadis muda agar lebih mendekat kepadanya. Kepada si gadis muda, Subagya berbisik. “Kamu yakin laki-laki itu akan memberikan sesuatu yang berharga?”
            Si gadis muda membalas dengan senyum. Ia tak ingin sang bos mengganggu pekerjaannya meyakinkan Sutarman. “Kami menawarkan paket menarik untuk Bapak.” Si gadis muda mengalihkan perhatian kepada Sutarman.
            Sutarman tak terlalu tertarik dengan tawaran si gadis muda. Ia lebih suka memperhatikan cara gadis itu berbicara. “Semenarik apa itu?”
            Three in one.  Kami siapkan konten untuk iklan televisi. Bonusnya, ada iklan cetak dan online. Kami punya jaringan videotron yang tersebar di berbagai kota besar. Itu gratis.”
            Sutarman mengangguk-angguk. Penjelasan si gadis muda mulai menarik perhatiannya. “Kampung halaman saya itu jauh di pelosok. Tak ada listrik. Orang menonton televisi dengan memakai accu. Itu hanya bisa untuk televisi hitam-putih. Koran tak pernah masuk ke kampung. Bagaimana saya bisa memberitahu orang-orang di kampung?”
            “Kita juga punya jaringan radio AM. Itu juga bonus.”
            Sutarman tersenyum puas. Si gadis muda berhasil menyakinkannya. “Baik. Siapkan saja kontraknya.” Sutarman bangkit dari tempat duduknya untuk menyalami Subagya. Kemudian ke arah si gadis muda yang sudah bersiap-siap menerima jabatan tangannnya. Setelah berjabat tangan Sutarman mengikuti gadis itu menuju ke luar ruangan. Sambil berjalan, laki-laki itu berbisik. “Kamu tampak anggun dengan pakaian itu.”
            Si gadis muda tersenyum sambil tersipu malu. “Ini baju kurung dengan kain batik bermotif bunga kecubung.” Ia memegang kain yang dikenakannya untuk diperlihatkan kepada Sutarman.
            “Saya tahu itu. Saya yang membuatnya.” Sutarman berlalu dengan senyum puas.
            Setelah melepas kepergian Sutarman, si gadis muda kembali ke dalam ruangan. Di sana, Subagya menyambutnya dengan tatapan tak senang. Sebuah map besar dihempaskannya ke atas meja kaca. “Di mana kamu menemukan pedagang kain itu? Di Tanah Abang?”
            “Bukan pedagang, Bos. Ia lebih senang disebut saudagar kain.” Si gadis muda tak menyanggah Subagya yang menyindirnya.
            “Kau selesaikan kontrak pedagang kain itu.” Subagya berlalu dengan terus menyindir si gadis muda. Sebelum sempat keluar ruangan, ia tiba-tiba membalikkan badan. “Eh, jangan lupa, cepat kau tukar baju ondel-ondelmu itu.”

Komentar

Postingan Populer