Empat

NILAM tak punya banyak pilihan. Sebenarnya, ia enggan memilih. Gadis itu membiarkan Selfi yang menentukan. Selfi tak hanya senang dengan ide briliannya, ia membuktikan sendiri ucapannya tentang memoles Narno. Cowok jadul di kantor itu dipermaknya menjadi kinclong. Rambut lurus yang biasanya dibiarkan kering dan terhempas kian-kemari dibuat menjadi mengkilat. Dengan sedikit sentuhan pomade, Narno langsung berubah menjadi lelaki eksekutif di zaman milenia.
            “Nganu, Mbak Nilam. Maaf terlambat.”
            Nilam memerhatikan Narno di seluruh sudut tubuhnya. Secara fisik, sudah sempurna. Baju, celana, sepatu, sepadan dengan tatanan rambutnya. Ada aksesoris, jam tangan merek impor. Biar kawe, tak bakalan ada yang menyadarinya. Nilam berguman. “Kamu tak usah banyak ngomong. Bicara seperlunya saja.” Tentang logat bicara Narno, itu yang tak bisa diubah secara instan.
            Narno mengangguk. Nyaris ia membalas dengan ucapan. Melihat Nilam tiba-tiba mengangkat jari telunjuknya ke arah mulut, laki-laki itu langsung kecut.
            Persiapan keberangkatan sudah beres. Plus sebuah sandiwara kecil, Nilam tersenyum dengan kehebatannya sendiri. Tapi, gadis itu melupakan satu hal yang teramat penting. Tiket pesawat. Celaka! Ia belum memesannya. “Kamu bisa kan menghubungi link kamu  di marketing  maskapai yang ada di Jakarta? Aku tak bisa menghubungi travel agent.” Nilam berbicara dengan Selfi lewat panggilan darurat di telpon genggamnya.
            Selfi menipuk jidad sendiri. Ia melupakan hal kecil yang teramat penting. “Oke, oke!” Gadis itu membalas dengan suara tergesa-gesa.
            Nilam menanti penuh was-was di ruang tamu apartemennya. Matanya tak lepas memperhatikan smartphone yang diletakkan di atas meja. Ia tak ingin melewatkan ketika benda itu tiba-tiba berdering. Sesekali, Nilam melihat ke arah Narno. Laki-laki itu lebih gelisah lagi. Tapi, kegelisahan Narno disebabkan oleh hal yang berbeda. Ia dicekam gamang ketika harus terbang untuk pertama kalinya.
            Kring! Smartphone berbunyi. Nilam masih memasang nada dering jadul di HP pintarnya. Nada dering itu mengejutkan karena sangat bersahabat dengan gendang telinganya. Karena itu, Nilam tetap memasangnya. “Ya, bagaimana?” Nilam sudah tahu, Selfi yang menelpon.
            “Waduh, tak bisa. Tiket yang tersedia hanya untuk keberengkatan lima hari ke depan.”
            “Hah?” Nilam mebelalakkan kedua mata. “Itu lewat lebaran Haji. Keterlambatan yang besar.”
            “Karena hari besar itulah, tak ada tiket yang tersedia. Semua sudah ludes jauh-jauh hari.”
            “Kamu bisa tanyakan exstra flight.”
            “Tak ada dalam beberapa hari ke depan.”
            “Huh, payah! Percuma kamu punya koneksi.”
            Selfi tidak marah dengan kata-kata menggerutu Nilam. Gadis itu sudah sangat merasa bersalah dengan kekalahannya akibat sesuatu yang sepele. Lagi, Selfi menipuk jidat untuk menghukum dirinya sendiri.
            “Tak ada penerbangan.” Nilam berguman. Tapi, Narno mendengar jelas hal itu dengan membaca gerak-gerik bibir Nilam. Mendengar Nilam berguman, raut wajah Narno langsung berubah drastis. Ia seperti patah arang.
            Nilam berjalan hilir-mudik di ruang tamu apartemen. Ia mencoba berpikir keras. Tiba-tiba, sebuah ide mampir di kepalanya. “Ada cara lain.” Gadis itu buru-buru membuka aplikasi di telpon pintarnya. Kemudian, menelpon sebuah nomor yang didapatkan dari sana.
            Sejak pemerintah menerapkan tarif murah untuk angkutan penerbangan, bus-bus antar pulau menjadi sepi peminat. Tiket untuk bus itu selalu tersedia. Nilam langsung memesan dua tiket untuk ke Sumatera.
            “Dapat!” Nilam tersenyum lebar kepada Narno. “Ayo, berangkat!” Gadis itu langsung mengajak Narno bergegas.
            Bus berangkat sejam jam lagi. Dari Terminal Rawamangun. Dari apartemennya, Nilam membutuhkan waktu setengah jam untuk sampai ke terminal. Itu kalau kondisi normal. Tapi, keluarbiasaan sering terjadi di ibukota. Keluarbiasaan itu terutama soal kemacetan yang bisa terjadi kapan saja.
            Nilam tak memakai mobil pribadinya. Naik taksi adalah cara terbaik untuk segera sampai ke terminal. Dengan berjalan tergesa-gesa, gadis itu mengejar taksi yang kebetulan lewat di jalan raya. Narno mengikuti dari belakang dengan tergopoh-gopoh. Laki-laki itu ikut bergegas dengan setengah hati.
            “Ke terminal. Tidak pakai lelet, Mas.” Sesampai di dalam taksi. Nilam langsung memberi aba-aba kepada sang supir.
            Taksi berjalan dengan kencang. Sang supir sudah paham bagaimana agar tak terjebak kemacetan. Nilam memperhatikan laju taksi dengan dada berdebar-debar. Sementara, Narno duduk di depannya dengan raut murung. Nilam akhirnya tersadar dengan rusuh yang dirasakan laki-laki itu.
            “Aku akan membayarmu. Sebutkan saja, berapa yang kamu inginkan.” Nilam meyakinkan Narno.
            Narno mencoba tersenyum. Tapi, tetap saja ia gamang. “Nganu, Mbak. Ngga usah. Kan ngga ada perjanjiannya seperti itu.”
            “Tak apa-apa. Ini perjanjian baru. Barusan tadi dibuat.”
            “Saya ikhlas kok, Mbak. Mau nolongin.”
            Nilam tertawa dalam hati. Ajaib, ternyata masih ada manusia super lugu seperti Narno ini di ibukota. “Aku juga ikhlas kok. Tenang saja.”
            Narno tetap merasa tak enak hati dengan tawaran Nilam. “Tapi, Mbak.” Ia terus berusaha menolak tawaran itu.
            Nilam tiba-tiba mengeluarkan sebuah amplop dari tas yang dibawanya. Ia tak sempat menghitung berapa uang yang tersimpan di amplop itu. Amplop diserahkan kepada Narno dengan cara memaksa. “Ini panjer. Nanti full ditambah bonus, setelah pekerjaanmu selesai.”
            Mendapati sebuah amplop tebal di tangannya, Narno tak bisa berkata lagi.
            Taksi sampai di terminal. Ternyata kendaraan itu sudah menghabiskan beberapa puluh menit. Nilam tak menghitung persis. Ia merasa waktunya hampir habis. Gadis itu langsung bergegas menuju terminal sesaat setelah taksi berhenti. Ia membayar ongkos taksi tanpa meminta kembaliannya. “Ambil saja kembaliannya,” ujar Nilam kepada supir taksi.
            Supir taksi memandang bengong beberapa lembar uang yang ada di telapak tangannya. Dihitung-hitung, ternyata ada yang kurang. “Mbak, uang tol! Dua kali.” Supir taksi berteriak sambil membuka pintu taksinya. Laki-laki itu menelan ludah karena Nilam tak mendengar teriakkannya. Gadis itu itu sudah lenyap dalam kerumunan terminal.

            Nilam mempercepat langkah. Di sebuah halte terminal, terlihat seorang laki-laki melambaikan tangan. Ia agen bus. Laki-laki itu memberi aba-aba bahwa bus segera berangkat. Tanpa berpikir panjang, Nilam langsung menaiki bus yang pintunya masih terbuka. Sesampai di dalam bus, gadis itu mencari tempat duduk di bagian depan. Ada sebuah kursi yang kosong. Posisinya persis di tepi jendela. Tempat terbaik untuk menikmati perjalanan darat yang sangat panjang. Nilam langsung menduduki kursi itu. Menjulurkan kaki ke arah depan. Ketika bus berjalan meninggalkan terminal, Nilam menghela nafas dalam-dalam. Ia seperti merasakan kemenangan dari sebuah perjuangan kecil untuk mendapatkan tiket bus.

Komentar

Postingan Populer