Tiga
DI dalam
kamar sebuah apartemen kelas menengah. Selfi asyik melihat layar smartphone. Sesekali ia tersenyum, kemudian
tertawa-tawa kecil. Di tepi ranjang, Nilam berdiri dengan gelisah. Ia mondar-mandir
dari pintu ke ujung jendela. Ditatapnya lampu-lampu berkedip dari gedung-gedung
pencakar langit, tapi itu tak mampu menghibur dirinya. Nilam mendekat ke arah Selfi yang berbaring
telungkup di atas ranjang. Ujung jari kaki gadis itu
dipegang untuk menarik perhatiannya.
“Udah,
kamu berangkat besok. Pekerjaan di kantor, aku yang handle.”
Bukan
soal pekerjaan yang menjadi beban di pikiran Nilam. Di usianya yang beranjak 23 tahun, ia sudah mendapatkan posisi terbaik.
Melebihi sukses yang bisa diraih wanita karir di usia muda. Selama ini, hasil
pekerjaannya selalu memuaskan. Nilam tak pernah khawatir, karirnya pasti melejit
tanpa ada yang bisa menghalangi. Beban di
pikirannya
hanyalah persoalan sederhana. Tentang warisan
untuknya di kampung halaman. Entah mengapa, Nilam mesti berpikir keras soal
yang satu itu. “Aku mesti segera mendapatkan jodoh. Begitu syaratnya agar
warisan itu bisa diberikan.”
“Wah,
keren. Udah dapat warisan, ketemu jodoh pula.”
Nilam
memasang muka masam. “Tak sesederhana itu. Waktunya tak panjang. Selepas
lebaran Haji.”
Selfi
berhenti menggoda Nilam. Ia mulai menyimak serius. Gadis
itu berusaha berpikir keras. Ia memerhatikan
Nilam dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Setelah itu, Selfi tersenyum
lebar. “Buat kamu, gampang lah untuk mendapatkan seorang laki-laki.”
“Bukan
cuma laki-laki. Tapi, calon suami.” Nilam menipuk jidat Selfi dengan ujung
jarinya. “Memangnya aku mau bikin peternakan di
kampung?”
“Aku
punya banyak teman laki-laki. Dijamin mapan. Pasti ada yang cocok buat kamu.
Sebagai pendamping hidup, imammu, yang menuntun menuju keluarga sakinah.” Dalam
serius, Selfi sempat juga menggoda Nilam.
“Siapa
yang ingin menikah? Aku masih muda. Aku ingin menggapai karir paling puncak.”
Selfi
terheran. Ia mencoba mencerna lebih dalam lagi ucapan Nilam yang terakhir. “Tak
mau menikah. Ow, ow..! Kamu hanya mau warisan itu.” Selfi tertawa kecil. Ia
memuji kepintarannya sendiri.
“Kamu
bisa bantu aku kan?” Nilam memelas.
Selfi
membelalakkan mata. Ia teramat senang melihat cara Nilam memelas kepadanya.
“Aku tahu. Kamu butuh seorang pria untuk dijadikan jodoh pura-pura.”
“Pinter.”
Selfi
makin bersemangat setelah mendapat pujian
langsung dari Nilam. Seolah-olah memikirkan sesuatu, gadis itu
memberikan ide terjeniusnya kepada Nilam. “Ada banyak laki-laki di kantor. Aku
bisa meminta salah satu di antaranya. Tinggal, kamu yang pilih.”
Nilam
mengeryitkan kening. Ia tak hafal betul dengan semua pria di kantor. Kecuali
sang bos, laki-laki bertubuh tambun, berambut keriting, Nilam tahu persis
dengannya. Tak mungkin ia menjadikan Subagya sebagai jodoh pura-pura. Apa kata
dunia? Eh, apa nanti kata ibu dan orang-orang di kampungnya. “Siapa? Aku tak
punya kandidat.”
“Johan.
Pria klimis, tubuh atletis, kalau berjalan, serasi sekali dengamu. Bagaimana?”
Nilam
berpikir sejenak. “Tidak, tidak! Ia bisa menganggap itu serius.”
Selfi
tahu, Johan selalu mengejar-ngejar Nilam. Ia sebenarnya hendak menjodohkan
laki-laki itu dengan Nilam. “Kalau akhirnya kalian berjodoh, anggap saja itu
berkah.”
“Hah?
Musibah, kales!”
Selfi
berpikir lagi. “Aha, Gugun!”
“Jangan!
Ia kan punya istri.”
“Justru
itu. Kamu aman. Tak mungkin ia meminta pertanggungjawaban hati untuk
menjadikanmu istrinya yang kedua.”
Nilam
sedikit terpengaruh dengan saran Selfi. Sesaat, gadis itu menganggukkan kepala.
Setelahnya, ia langsung tersentak. “Celaka! Kamu akan membuat prahara rumah
tangga. Aku tak mau menjadi musuh bagi istrinya. Apalagi disebut-sebut sebagai
perebut suami orang.”
Selfi
menghela nafas dalam-dalam. Ia kehabisan ide. Di saat pikirannya nyaris mentok,
tiba-tiba bayangan Narno menari-nari di benaknya. “Kalau dipoles sedikit, ia
pasti cocok bersanding denganmu.”
“Office boy itu?”
Nilam menyela dengan tatapan jijik.
“Ngga
ada yang bakalan tahu. Lagian, ini kan cuma pura-pura.”
Nilam
terdiam sejenak. Ia memikirkan dengan benar-benar ide Selfi yang terakhir.
Otaknya yang sedikit lebih cerdas ternyata bisa menerima ide tersebut. “Tapi,
tak mungkin ia mau tanpa pamrih.”
“Tenang.
Kamu tak perlu membayarnya. Seumur-umur, ia belum pernah naik pesawat.” Selfi
tersenyum lebar kepada Nilam. Nilam membalas dengan tawa lepas.
Komentar
Posting Komentar